Wednesday, August 22, 2012

Film "Found Footage" - Apakah Beneran?

Belakangan banyak sekali film dokumenter yang beredar dan diklaim sebagai "found footage", yaitu film yang ditemukan - entah oleh pihak berwajib, sahabat "korban" kejadian, atau siapapun - yang diyakini adalah jawaban dari sebuah kasus misterius yang tidak terungkap. Korbannya sendiri dinyatakan hilang dan masih dalam penyidikan kepolisian.

Film dokumenter tersebut biasanya direkam dengan menggunakan kamera genggam biasa (handycam) dan direkam layaknya pembuat film amatir. Kadang filmnya goyang, tidak fokus, kabur, bahkan bikin sakit kepala. Banyak orang meyakini kalau apa yang ditampilkan film tersebut memang nyata dan benar-benar rekaman sebuah peristiwa yang benar-benar - atau setidaknya "pernah" - terjadi.

Apakah benar?

Jika Anda meyakininya, maka : SELAMAT. Anda baru saja tertipu, karena film tersebut bukanlah film dari kejadian nyata, namun murni buatan.


SEJARAH MUNCULNYA FILM "FOUND FOOTAGE"
Found Footage saat ini telah menjadi genre film yang memang sedang "happening" dan meledak di mana-mana. Para sineas membuat film ini dengan tujuan memberikan sensasi kepada penonton, agar mereka merasa menjadi bagian dalam film tersebut dan turut pula merasakan apa yang ditampilkan dalam film tersebut.

Seperti yang dijelaskan di atas, film ini biasanya dibuat dengan menggunakan handycam dan gambarnya seringkali tidak fokus, seolah-olah dibuat oleh sineas amatir. Para pemain filmnya pun dipilih dari artis yang sama sekali tidak terkenal untuk meyakinkan penonton kalau film tersebut adalah rekaman kejadian nyata (bukan rekayasa).

Banyak sineas - baik yang sudah punya nama, maupun yang belum dikenal - memilih membuat film

Genre ini muncul pertama kali tahun 1980 di Italia, diperkenalkan oleh sineas Ruggero Deodato lewat filmnya Cannibal Holocaust. Film yang dibuat di Hutan Amazon dengan bantuan suku pedalaman Amazon sungguhan ini bercerita tentang penemuan film yang dibuat oleh sekelompok peneliti Amerika yang hilang di pedalaman Hutan Amazon. Film ini meraih kesuksesan luar biasa. Bahkan hingga hari ini masih tetap menjadi buah-bibir banyak orang karena kekejaman yang ditampilkan di film itu sangat luar biasa brutal dan mengerikan.

Di tahun 1992, film bergenre ini kembali menjadi pembicaraan hangat saat film Perancis C'est Arrive Pres de Chez Vous  (secara harafiah artinya "It Happened in Your Neighbourhood") dirilis. Film ini menceritakan tentang sekelompok kru film yang merekam "keseharian" seorang pembunuh berantai bernama Ben (dperankan oleh Benoit Poelvoorde, artis Swedia). Film yang juga sangat brutal dan mengerikan itu kini menjadi film klasik yang dipuja banyak orang. Di Amerika, film ini diedarkan dengan judul Man Bites Dog.

Tahun 1999, genre "found footage" meledak dan menjadi genre yang sangat diminati setelah film indie berjudul The Blair Witch Project meraih kesuksesan. Film yang disutradarai Daniel Myrick dan Eduardo Sanchez ini bercerita tentang penemuan rekaman film yang dibuat oleh tiga orang mahasiswa jurusan perfilman (Heather Donahue, Joshua Leonard, dan Michael C. Williams). Ketiganya dinyatakan hilang saat mendaki Gunung Black Hill dekat Burkittville, Maryland tahun 1994, ketika sedang membuat film dokumenter mengenai legenda Blair Witch yang populer di daerah Maryland. Film yang dibuat "hanya" dengan biaya US$ 750,000 tersebut ternyata mampu meraup keuntungan hingga lebih dari US$ 248,000,000.

Di tahun 2000, sedikitnya 7 - 10 film bergenre ini dirilis di berbagai negara dan semuanya meraih sukses yang luar biasa. Bahkan genre "found footage" mulai mendapatkan banyak penggemar fanatik yang jumlahnya jutaan dari seluruh dunia. Peluang ini ditangkap banyak produser di seluruh dunia dan mereka pun mulai beramai-ramai secara rutin membuat film bergenre ini. Jika dihitung-hitung, rata-rata ada 20 - 30 film "found footage" yang dibuat dan dirilis setiap tahunnya.

Beberapa film "found footage" yang cukup populer di era 2000an adalah trilogi August Underground (2001 - 2004), The Last Horror Movie (2004), The Curse (2005),  Welcome to the Jungle (2007), [Rec] (2007), Cloverfield (2008), serial Paranormal Activity (2009- 2012), Paranormal Entity (2009), The Last Exorcism (2010), Unaware (2010), Apollo 18 (2011), Chronicle (2012), The Devil Inside (2012), Project X (2012), War of the Worlds - The True Story (2012), dan Area 51 (akan beredar tahun 2013).


MENGAPA MEMBUAT FILM "FOUND FOOTAGE"?
Menonton film dengan kualitas yang standar (bahkan sering di bawah rata-rata), gambar yang tidak fokus (bergoyang-goyang, kadang bahkan over close up, dan kabur), cerita yang sederhana (tanpa alur yang kuat) dengan akhir cerita yang menggantung, serta dibohongi mentah-mentah (karena dibilang sebagai film "hilang" yang berhasil ditemukan) jelas bukan alasan yang kuat untuk dapat membuat siapapun mau mengocek kantongnya demi menonton film jenis ini. Namun fakta tersebut tidak menyulutkan niat para produser untuk tetap memproduksi film bergenre ini. Mengapa? Ada beberapa alasan.


Pertama, film jenis ini kebanyakan dibuat dengan dana yang sangat minim. Mereka hanya cukup menggunakan handycam dan aktor kurang terkenal untuk membuat film jenis ini, plus bekal bantuan rekan-rekan media guna promosi film, maka jadilah sebuah film yang laris-manis.

Salah satu adegan film Paranormal Activity
Paranormal Activity - contohnya - dibuat dengan biaya yang sangat murah : US$ 15,000. Film yang disutradarai Oren Peli yang bertutur tentang pembunuhan misterius yang terjadi di rumah pasangan muda di San Diego, California ini meraup keuntungan hingga lebih dari US$ 200,000,000. Kesuksesan ini menjadikan Paranormal Activity dibuat hingga berseri-seri dan semuanya dipastikan laris. Seri keempat dari film ini akan beredar di tahun 2013, dan seri kelimanya saat ini sedang dalam proses persiapan agar dapat beredar di tahun yang sama.


Contoh lain film sejenis yang dibuat dengan dana yang rendah namun mendapatkan perolehan yang luar biasa adalah The Last Broadcast (1998, budget : US$ 2,000, perolehan : US$ 4,000,000), Diary of The Dead (2007; budget : US$ 2 juta, perolehan US$ 5,3 juta),  dan The Last Exorcism (2010; budget US$ 2,1 juta, perolehan US$ 67,738,900).

Walau kebanyakan film jenis ini dibuat murah, namun ada juga yang dibuat dengan biaya lumayan fantastis. Cloverfield, misalnya. Film yang disutradarai  Matt Reeves dan diproduseri J.J. Abrams (sutradara film Mission : Impossible 4, dan Star Trek) ini dibuat dengan biaya lebih dari US$ 25 juta dengan perolehan pemasukan hingga US$ 170 juta. Begitu juga Quarantine (2008) yang juga dibuat dengan budjet US$ 12 juta dan meraup keuntungan hingga US$ 41 juta. Hal yang sama juga dirasakan Chronicle (2012) yang dibuat dengan biaya US$ 15 juta namun meraup keuntungan hingga US$ 250 juta. Biaya yang besar itu digunakan untuk membuat efek khusus yang memang cukup "wah" dan lebih menarik untuk ditonton.

Bentuk promosi film The Blair Witch Project
Kedua, adalah sensasi. Kebanyakan sutradara - terutama sutradara baru - membuat film seperti ini guna menarik sensasi yang dapat mempopulerkan nama mereka.

Saat Cannibal Holocaust dirilis, sutradara Ruggero Deodato harus menjalani persidangan karena dituduh melakukan pembunuhan sungguhan pada para aktor pendukung filmnya lalu menjadikannya bagian dari film. Untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, Deodato menghadirkan semua kru film - termasuk para aktor yang "telah mati" di filmnya - ke dalam persidangan. Setelah persidangan selesai, nama Deodato menjadi populer di kalangan sineas dunia.

Hal serupa juga dialami para pemain di film The Blair Witch Project yang sempat menghebohkan kepolisian Maryland saat film tersebut ditayangkan di bioskop, karena pihak kepolisian tidak pernah mendengar adanya berita kehilangan kru film tersebut. Hal ini makin diperparah dengan beredarnya wawancara eksklusif sebuah stasiun televisi Amerika yang mewawancarai keluarga "korban". Kehebohan itu berakhir setelah para kru dan pemain film tersebut muncul di televisi dan menjelaskan perihal film tersebut.

Salah satu adegan film Cloverfield
Film lain yang cukup mengundang perhatian adalah August Underground yang dibuat oleh Fred Vogel. Saat filmnya akan ditayangkan dalam acara tahunan perfilman dunia Rue Morgue Festival of Fear do Toronto, Vogel ditahan oleh pihak berwajib setempat berkenaan dengan film yang dibuatnya tersebut, yang mana menceritakan tentang kehidupan seorang psikopat brutal (yang diperani dirinya sendiri) yang membunuh banyak orang dengan cara-cara yang luar biasa sadis. Pihak berwajib menduga film itu adalah film dokumenter asli dan Vogel memang seorang pembunuh psikopat. Berita penangkapan Vogel itu justru menjadi sensasi internasional luar biasa yang membuat film August Underground sukses di seluruh dunia. Usai kejadian tersebut, Vogel membuat sekuel filmnya berjudul August Underground's Mordum (2003) dan August Underground's Penance (2007) yang juga berhasil meraih kesuksesan yang sama.

Dan terakhir adalah sebagai "alat pembelajaran". Bagi sebagian besar sutradara pemula, membuat film bukanlah hal yang mudah dan butuh latihan serta modal yang cukup besar. Untuk dapat mengasah kemampuan mereka, serta mendapatkan uang dari hasil "pembelajaran" tersebut, maka salah satu cara yang bisa mereka lakukan adalah membuat film sejenis ini. Kesalahan-kesalahan yang mereka buat selama pembuatan film tidak akan dipermasalahkan, karena toh film yang mereka buat jenisnya dokumenter, dan semua penonton tentu bisa memaklumi kalo apa yang ditayangkan adalah "kejadian nyata, bukan akting". Sehingga salah artikulasi, keliru dalam blocking, tidak hafal skrip, suara yang kadang timbul-tenggelam, atau bahkan gambar yang tidak fokus adalah hal yang sangat wajar dan sangat bisa diterima oleh penonton manapun. Apalagi dengan melihat fakta bahwa film-film jenis ini sangat menjual, maka cukup wajar jika banyak sutradara pemula yang sangat antusias untuk membuat film bergenre "found footage" ini.


DAMPAK FILM "FOUND FOOTAGE"
Meski berawal dari Italia, film genre "found footage" justru kini lebih dikenal dan didominasi film-film produksi Amerika. Jenis filmnya semakin beragam. Jika dulu film bergenre ini banyak didominasi film brutal dan sadis (karena banyak mengumbar darah, adegan mutilasi, dan penyiksaan), namun kini didominasi horror, thriller, dan drama.

Selain Amerika, beberapa negara lain juga membuat dan menikmati kesuksesan film bergenre ini. Salah satunya adalah Jepang yang telah merilis cukup banyak film "found footage" dan meraih sukses secara internasional. Salah satunya adalah The Curse (Noroi; 2005). Film yang disutradarai Koji Shiraishi ini diyakini sebagai film "found footage" berdurasi terpanjang yang pernah dibuat : 2 jam (rata-rata film "found footage" dibuat dengan durasi 80 - 85 menit). Film ini menuturkan penyidikan seorang paranormal bernama Masafumi Kobayashi terhadap kejadian aneh yang terjadil di area Nagano. Film ini mendapatkan banyak penghargaan dan sanjungan dari para kritikus film dunia.

Beberapa film "found footage" Jepang lain yang cukup populer adalah Occult (2009), Shirome(2010), Tokyo Night (2010), dan POV (2012).

Selain Jepang, negara lain yang juga memproduksi film jenis ini adalah Australia (Lake Mungo; 2008), Spanyol (REC; 2007), Canada (Diary of The Dead; 2007), India (Ragini MMS; 2011), Norwegia (Trollhunter; 2010), dan Polandia (Nawiedzona Polska; 2011).

Indonesia pun pernah memproduksi beberapa film begenre ini. Salah satunya adalah Te[Rekam] (2010) yang cukup laris. Film yang diperani Julia Perez, Olga Lydia, dan Monique Henry ini menuturkan tentang petualangan tiga wanita cantik itu menyidiki sebuah rumah kosong di daerah Gadog, Bogor. Gara-gara film inilah, Julia Perez mendapat julukan The Next Suzanna.








1 comment: